Paper 1
Shift Paradigm Pada Ilmu dan Pendidikan
Nama : Safrizal
Npm : 26111549
Kelas : 1KB01
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Universitas Gunadarma
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Di dalam tahun-tahun 1920-30 kalangan positivisme logis (logical positivism) yang biasanya dikenal dengan “Lingkaran Wina” (Moritz Schlick dan Rudolf Carnap) mengemukakan bahwa teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences) ditetapkan melalui ‘verifikasi’ ( statement “tembaga menghasilkan daya listrik” adalah terbukti benar dan tidak terbantahkan lagi). Teori verifikasi ini amat berpengaruh di dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk di Indonesia. Tetapi sudah sejak 1935 Karl Popper melalui bukunya The Logic of Scientific Discovery (Jer: Logik der Forschung) mengemukakan bahwa aturan-aturan untuk menetapkan hipotesa-hipotesa baru dan teori-teori baru tidak ditentukan oleh konfirmasi positif, koroborasi dalam percobaan dan pengalaman ataupun oleh verifikasi. Banyak statement (misalnya “semua tembaga di dalam alam semesta ini menghasilkan daya listrik”) tidak bisa diverifikasi sebab tidak mungkin. Bukan verifikasi yang menentukan melainkan ‘falsifikasi’ dan prinsip yang mengikutinya kemudian disebut prinsip ‘falsifiabilitas’. Penemuan angsa-angsa berwarna hitam di Australia langsung memperlihatkan kebersalahan proposisi yang tadinya dianggap berlaku universal yaitu “semua angsa berwarna putih”. Dari pengamatan induktif yang menemukan bahwa ada angsa hitam, dapat dideduksikan secara umum juga bahwa “Ada angsa-angsa yang tidak putih”. Penemuan angsa hitam membuktikan kebersalahan proposisi “semua angsa berwarna putih”. Tetapi daripada memfrustrasikan, hal ini justru dapat dilihat positif. Teori ilmiah yang baik adalah teori ilmiah yang dapat dibuktikan salah, sedangkan teori ilmiah yang tidak baik adalah teori ilmiah yang tidak dapat dibuktikan salah. Maka Popper sangat mengecam klaim-klaim beberapa teori besar yang memberi kesan tidak memberi tempat pada kemungkinan dirinya dapat salah, seperti teori negara dan masyarakat yang bersumber dari Plato, psiko-analisa dari Freud dan teori sosial dari Marx.
Teori Popper tidak mendapat sambutan yang sama seperti sambutan terhadap verifikasi. Namun sementara itu muncullah pertanyaan-pertanyaan apakah perkembangan ilmu atau lebih baik, sains, ditentukan oleh logika,
entah logika yang mengarah pada verifikasi maupun logika yang mengarah pada falsifikasi? Atau adakah faktor-faktor lainnya yang ikut menentukan, bahkan lebih menentukan daripada logika dari ilmu itu sendiri?
Di dalam dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora sudah lama disadari bahwa faktor-faktor sejarah, komunitas ilmiah, dan orangnya (subjek yang meneliti) merupakan faktor-faktor yang amat menentukan.
Tidak ada epistemologi pengetahuan yang dapat dilakukan tanpa menggabungkan teori pengetahuan, sejarah pengetahuan dan sosiologi pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam (“the natural sciences”) yang di Indonesia biasanya disebut “sains”, akhirnya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh penelitian terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Hipotesa-hipotesa baru dan teori-teori baru tidak muncul oleh karena prinsip verifiabilitas maupun falsifiabilitas, melainkan oleh karena sebuah paradigma yang lama digantikan oleh sebuah paradigma yang baru. Jadi terjadi sebuah perubahan paradigma.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan mempertimbangkan latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah pada tugas kali ini adalah kita akan segera membahas di bawah ini apa yang dimaksudkan dengan paradigma dan perubahan serta pegeseran paradigma yang dikhususkan dibidang ilmu dan pendidikan.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui dengan mendalam tentang paradigma serta pergeseran atau perubahan yang terjadi di sebuah paradigma dalam ruang lingkup dibidang ilmu pendidikan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan bagi perkembangan pola pikir mengenai paradigma serta pergeseran dan perubahan yang terjadi didalamnya. Penelitian ini juga diharapkan menjadisuatu refrensi atau bahan pertimbangan bagi akademis dalam bidang ilmu sosial dasar.
BAB II
PENGOLAHAN DATA
2.1. Pengertian Paradigma
Apakah Paradigma itu? Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara Kuhn sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma. 1. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan. 2. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum. 3. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll. Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
2.2. Pandangan Thomas Kuhn Mengenai Paradigma Ilmu
Menurut Kuhn, filsafat ilmu sebaiknya berguru pada sejarah ilmu yang baru. Katanya, Popper yang sudah disebut di atas, membalikkan kenyataan dengan terlebih dulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesa yang disusul upaya falsifikasi.
Padahal perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau system, melainkan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Kemajuan ilmiah adalah bersifat revolusioner, dan tidak seperti anggapan sebelumnya, yaitu bersifat kumulatif, dengan kata lain evolusioner. Mengapa tidak disadari bahwa kemajuan itu bersifat revolusioner? Oleh karena hanya terasa revolusioner bagi mereka yang terkena dampaknya, atau lebih baik, mereka yang paradigmanya terkena dampak dari perubahan revolusioner ini. “Paradigma” menjadi konsep sentral dalam pemikiran Kuhn. Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh sebuah paradigma tunggal. Tetapi salah satu masalah dalam tesis Kuhn adalah pemahaman mengenai pengertian paradigma itu sendiri, yang ternyata tidak begitu jelas. Di satu pihak, Kuhn mengatakan bahwa “paradigma” yang ia maksudkan tidak sama dengan “model” atau “pola” melainkan lebih daripada itu. Tetapi kemudian dalam penerapan teori Kuhn ke bidang-bidang di luar sains, istilah “model”, “pola” dan “tipe” kerap dicampurkan saja dengan “paradigma”. Di dalam postscript, Kuhn mengakui bahwa ia menggunakan istilah “paradigma” dalam dua arti, pertama sebagai keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh anggota komunitas ilmiah tertentu dan kedua, sejenis unsur dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki yang kongkret, yang jika digunakan sebagai model atau contoh, dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains yang normal, yang masih tersisa. Menurut Kuhn, kedua makna ini bisa dipakai, namun yang lebih mendalam secara filsafati adalah yang kedua.
Paradigma tunggal ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Yang dimaksudkan dengan ilmu normal adalah penelitian yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu diakui pada suatu kurun waktu tertentu sebagai menyediakan dasar atau fondasi bagi praktik selanjutnya. Para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma ini secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal mendasar. Karena paradigma diterima, maka dengan sendirinya para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma tersebut.
Karena paradigma itulah yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Namun selama menjalankan penelitiannya, para ilmuwan bisa menemukan berbagai kejanggalan berupa ketidaksesuaian teori dengan fenomena. Kejanggalan atau “anomali” ini justru merupakan sebuah petunjuk yang penting mengenai perkembangan ilmu.
Jika anomali semakin menumpuk dan kualitasnya semakin meninggi, maka timbullah krisis. Dalam krisis ini orang mulai mempertanyakan paradigma. Pada waktu itu ilmuwan tidak lagi melakukan ilmu normal. Ia diperhadapkan pada pemilihan apakah akan kembali kepada cara-cara ilmiah yang lama, atau berpindah pada sebuah paradigma baru yang memecahkan masalahnya dan dengan demikian merupakan tandingan terhadap paradigma lama. Jika ia memilih yang terakhir, maka terjadilah sebuah revolusi ilmiah, oleh karena di antara paradigma baru dan paradigma lama tidak ada benang merah logika atau rasionalitas, dalam arti keduanya tidak bisa disesuaikan. Paradigma lama ditinggalkan bukan karena atau kurang ilmiah dibandingkan yang baru, tetapi karena dianggap tidak sesuai lagi untuk memecahkan masalah. Istilah yang dipakai oleh Kuhn untuk menyebut ketidakrasionalan ini adalah “incommensurable” atau “incommensurability”. Tetapi Kuhn menambahkan bahwa kebanyakan ilmuwan memilih untuk bertahan dalam ilmu normal dan mengikuti paradigma yang lama, oleh karena mengikuti paradigma yang baru membawa dampak yang berat bagi studi dan kegiatan mereka. Perubahan yang bersifat paradigmatik selalu bersifat revolusioner, dan efeknya sama seperti sebuah perubahan perspektip atau orientasi. Berbicara mengenai perspektip dan orientasi tidak dapat tidak menyebabkan orang berpikir mengenai “worldview”. Perubahan yang bersifat paradigmatik bisa mencakup perubahan worldview. Kuhn tidak menyangkal bahwa pemahamannya mengenai perubahan paradigma sains dipengaruhi oleh perkembangan di bidang psikologi Gestalt. “What were ducks in the scientist’s world before the revolution are rabbits afterwards”. Van Peursen di dalam bukunya mengenai filsafat ilmu memuat 3 gambar mengenai perubahan menurut psikologi tersebut, tetapi saya hanya mengambil satu yaitu gambar bebek-kelinci yang sesuai dengan statement Kuhn di atas. Gambar ini berasal dari filsuf Austria-Inggris Wittgenstein dan Wittgensteinpun mengambilnya dari Jastrow sang psikolog.
Di dalam banyak catatan-catatan pakar sains dijumpai pergumulan hebat dalam menghadapi anomali dan kenyataan paradigma baru. Einstein yang dapat disebut pembangun paradigma baru merasa “as if the ground had been pulled out from under one, with no firm foundation to be seen anywhere, upon which one could have been built”.
Setelah menyadari dampak dari mereka yang kemudian memperkembangkan teori kuantum terhadap teologi, terutama mengenai Yang Ilahi,
maka Einstein tidak ragu-ragu untuk memberi pernyataan teologis termasyhur yang bertentangan sendiri dengan posisi baru yang bersifat indeterministik, di mana seharusnya dia berdiri : “The Old Man (maksudnya Tuhan) does not play dice with the universe”. Apabila Kuhn mengatakan bahwa kebanyakan ilmuwan bertahan dalam paradigma lama, maka bukanlah maksudnya untuk menilai negatip sikap tersebut.
Kegiatan-kegiatan tradisional dari sebuah ilmu normal justru merupakan inti kegiatan ilmiah. Perlawanan seumur hidup terhadap paradigma baru dari mereka yang sudah terikat dengan paradigma lama bukanlah merupakan pelanggaran standar-standar ilmiah, melainkan justru index dari hakikat riset ilmiah itu sendiri. Perubahan paradigma mendatangi/menyatakan diri kepada ilmuwan dan bukannya bahwa ilmuwan itu secara sengaja berusaha menciptakan perubahan paradigma. Meskipun menurut Kuhn, apa yang dikemukakan oleh Max Planck di atas (di bawah judul artikel ini) ada benarnya, ia lebih suka membayangkan bahwa perpindahan kesetiaan dari sebuah paradigma lama ke paradigma baru terjadi kurang lebih sebagai pengalaman pertobatan. Bertobat berarti berubah perspektip dan orientasi, tetapi tidak berarti yang sebelumnya itu salah atau tidak benar. Hal itu menandakan bahwa ada kesejajaran di antara inter-aksi di dalam bidang sains dengan bidang agama-teologi. Sikap ilmuwan dan agamawan-teolog seringkali sama saja. Bukan hanya pada yang terakhir saja kita melihat perdebatan-perdebatan yang tidak kunjung habis, tetapi juga di bidang sains. Di kedua dunia, perdebatan baru selesai (atau tidak selesai?) apabila terjadi perpindahan paradigma. Susahnya dalam pengertian populer, istilah “revolusi” dan “pertobatan” mengandung makna etis : yang dulu salah atau jelek, makanya pindah ke yang baru, yang benar dan baik. Asal kita maklum saja bahwa Kuhn menggunakan kedua istilah tersebut tidak dalam pengertian populer.
Demikianlah jalannya perkembangan ilmu. Di dalam bukunya Kuhn memberikan contoh-contoh dari sains bagaimana revolusi di bidang sains terjadi. Revolusi-revolusi ini semuanya terjadi sesudah pertengahan abad 19, oleh karena sebelumnya tidak ada komunitas kaum ilmuwan. Sebelum itu ada berbagai paradigma yang berseliweran. Baru sesudah komunitas ilmuwan terbentuk, orang terbiasa bekerja dalam ilmu normal di bawah payung paradigma tunggal. Sebagai awam di bidang sains tentu sulit sekali bagi saya untuk mengikuti uraiannya.
Tetapi yang dapat saya tangkap adalah bahwa perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam hal besar-besar saja, seperti perubahan pemahaman mengenai pusat alam semesta dari worldview Ptolemaian ke worldview Kopernikan-Galileian, atau dari worldview Newtonian ke worldview Einsteinian, tetapi juga dalam sejarah perkembangan fenomena listrik, oksigen dan lain-lain, yang merupakan “revolusi-revolusi kecil”. Yang masih tersisa adalah persoalan apakah tidak terdapat kemungkinan bahwa di dalam sains bisa terdapat dua paradigma, bahkan di dalam satu orang ilmuwan bisa terdapat dua paradigma? Di dalam prakata, Kuhn mengakui bahwa uraiannya mengenai pra dan pasca-paradigma di dalam perkembangan ilmu dibuat terlalu ketat.
Bisa terjadi kemungkinan, meskipun jarang, bahwa dua paradigma yang saling berkompetisi dapat hidup berdampingan secara damai. Tetapi hal ini tentunya berdampak pada pengertian dia mengenai “revolusi”. Maka kadang-kadang dia berbicara mengenai “paradigm change” (“perubahan paradigma”), tetapi kadang-kadang juga mengenai “paradigm shift” (“pergeseran paradigma”).
Hans Küng yang kemudian menerapkan teori Kuhn ke bidang teologi memanfaatkan ketidakkonsekwenan Kuhn ini dengan mengartikan “paradigm change” sebagai sebuah proses yang berjalan secara revolusioner, tetapi tidak pernah terjadi sebuah “total break”. Bagi dia, “paradigm change” tidak berarti “paradigm switch” (“pertukaran/pergantian paradigma”). Lepas dari ketidakkonsekwenan ini Kuhn telah berjasa besar mendekatkan sains dengan ilmu-ilmu lainnya, sebagai sama-sama terikat pada ruang dan waktu. Saya menutup uraian mengenai Kuhn dengan mengutip kesan Clifford Geertz, ilmuwan sosial terkemuka dari USA, ketika mengenang kematian Kuhn “What remains as Kuhn’s legacy, is his passionate insistence that the history of science is the history of the directed growth and replacement of self-recruiting, normatively defined, variously directed, and often sharply competitive scientific communities”. “Structure opened the door to the eruption of the sociology of knowledge into the study of those sciences about as wide as it could be opened”.
2.3. Pergeseran Paradigma Pendidikan
Membangun paradigma pendidikan yang benar dalam konteks kekinian adalah merupakan salah satu tuntutan didalam proses penyelesaian persoalan sistem pendidikan nasional yang merupakan salah satu bagian dari sistem keindonesiaan. Problematika keilmuan pada saat ini, hilangnya nilai- nilai ke- Tuhanan pada konteks keuniversalitasan bangunan keilmuan yang merupakan pondasi dasar proses pendidikan, akhirnya sangat memberikan pengaruh besar terhadap proses pendidikan bangsa kita. Proses pendidikan bangsa, tidak lagi mampu memberikan proses pencerdasan nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Terbukti oleh adanya keterpisahan pemahaman, atau cara pandang terhadap pendidikan formal (sekolah, kuliah) dan pendidikan informal (lembaga-lembaga kemasyarakatan). Predikat pendidikan hanya mampu dimiliki oleh mereka yang kebetulan punya kesempatan bersentuhan dengan institusi pendidikan (pendidikan formal), sedangkan mereka yang kebetulan tidak punya kesempatan untuk bersentuhan dengan Institusi pendidikan (pendidikan formal) terkadang harus menerima predikat Orang yang tidak berpendidikan, Lebih fatalnya lagi hal tersebut dianggap sebagai sebuah aib.
Keterpisahan paradigmapun, bukan hanya sampai pada tingkatan antara pendidikan formal maupun informal, bahkan sampai pada muatan nilai pendidikan, yaitu intelektualitas, spiritualitas maupun emosionalitas yang merupakan variable untuk memberikan muatan kualitas pendidikan. Hal ini menyebabkan institusi pendidikan harus kehilangan orientasinya dalam rangka melakukan proses pencerdasan nilai kemanusiaan masyarakat.
Proses pendidikan yang dilakukan oleh institusi pendidikan seharusnya merupakan ordinat didalam mendorong terjadinya perubahan sistem keindonesian yang lebih baik lagi seperti yang dicita- citakan oleh masyarakat indonesia, bukannya malah mempolitisasi pendidikan. Pendidikan akhirnya menjadi salah satu instrumen oleh para elite politik, pejabat serta "kaum pemodal" untuk mempertahankan proses eksploitasi, baik eksploitasi sumber daya manusia (SDM) maupun eksploitasi sumber daya alam (SDA). UU No. 60 Thn. 1999 merupakan bukti, dimana institusi pendidikan dikatakan telah menjadi badan usaha milik bangsa, yang artinya institusi pendidikan harus menyetor kepada negara bukannya mendapatkan subsidi pendidikan.
Centralisasi pendidikan ternyata masih dipertahankan oleh pemerintah kita dalam hal ini oleh dinas yang terkait yaitu Dinas pendidikan Nasional (Diknas), terbukti bahwa kurikulum pendidikan bangsa kita harus tetap mengacu pada keputusan mentri (Kepment No 155 Thn... ). Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan undang- undang otonomi daerah serta undang- undang otonomi kampus. Dimana ruang gerak atau ekspresi maupun kreatifitas untuk mengembangkan kualitas proses pendidikan yang benar-benar sesuai dengan potensi lokal akan mengalami keterpasungan. Dalam konteks budaya, centralisasi pendidikan juga memunculkan terjadinya centralisasi budaya (Monistik budaya) pengajaran, adanya dominasi budaya yang baik sadar ataupun tanpa sadar memaksakan satu budaya. Lebih dari itu tentunya juga mengakibatkan munculnya centralisasi kebenaran, kebenaran yang harusnya relative pada tingkat manusia akhirnya dipahami secara mutlak.
Sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan terhadap realitas dunia pendidikan hari ini, dimana telah terjadi pergeseran "paradigma pendidikan" ditingkat masyarakat bangsa kita. Baik masyarakat elite, menengah maupun masyarakat bawah (kaum awam: red). Hal ini diakibatkan adanya problem dalam cara pandang masyarakat kita terhadap pendidikan itu sendiri, pendidikan hampir tidak pernah dilihat dari sudut pandang yang lebih holistik (keseluruhan) atau pendidikan ditinjau dari sudut pandang pendidikan itu sendiri. Fenomena yang berkembang dalam cara pandang masyarakat terhadap pendidikan malah sering kali cenderung materealistik, sehingga membentuk pola hidup yang akhirnya juga cenderung individualistik. Apa- apa yang dimiliki dalam "kesuksesannya" dianggap hasil dari usahanya sendiri, kerja kerasnya sendiri dan yang lebih parah maunya dimiliki sendiri.
Terlupa bahwa, "kesuksesesan" yang kita raih pasti juga dipengaruhi oleh variable-variable diluar diri kita, terlebih variable nilai transendental (ketuhanan). Hal ini kemudian yang menyebabkan terbentuknya miniatur egoisme "kepemilikan" yang sering kali memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas diri yang kemudian menyebabkan munculnya potensi konflik dalam bangunan sosial kemanusiaan kita.
Pergeseran "paradigma pendidikan" sebetulnya juga sangat dipengaruhi oleh bangunan keilmuan (sains) yang ada dalam sistem pendidikan nasional kita. Memang, harus diakui bahwa pengaruh dari sejarah perkembangan keilmuan zaman Romawi, Yunani sampai Islam memberikan kontribusi positif maupun negatif terhadap peradaban dunia. Karena semuanya tergantung dari manusia itu sendiri untuk memanfaatkan ilmu, apakah untuk tujuan eksploitasi ataukah untuk tujuan kemakmuran Bumi.
Pembicaraan yang sangat menarik sebetulnya ketika pendidikan ternyata sangat punya kaitan dengan bangunan keilmuan. Dapat kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan keilmuan, betapa dalam sejarah perkembangan keilmuan memberikan hikmah terhadap kita, bahwa proses pendidikan sebetulnya tidak pernah terdikotomikan dengan bangunan keilmuan dan dimana bahwasanya bangunan keilmuaan juga tidak pernah terdikotomikan antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Seperti contoh, sosok Ibnu shina yang ahli dalam ilmu kedokteran tapi juga seorang filosof, Enstein yang dalam eksperimennya terhadap keberaturan Alam semesta akhirnya mengakui bahwa pasti ada "Master Designer" yang mengatur keberaturan Alam semesta ini dan masih banyak tokoh yang lainnya. Artinya, bahwa dalam proses pendidikan yang dialami haruslah mampu memberikan nilai kecerdasan kemanusiaan yang lebih holistik, mendapati konsep "kebenaran" baru yang empiris dan yang lebih penting semakin meningkatkan keyakinan terhadap nilai- nilai ketuhanan.
Lain halnya dengan apa yang berkembang dalam proses pendidikan bangsa kita, yang ternyata telah mereduksi makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak lagi bermakna "pendidikan" yang mempunyai muatan holistik (intelektual, spiritual, emosional) tapi lebih bermakna pada megahnya miniatur institusi pendidikan, politisasi pendidikan dan komersialisasi pendidikan. Pendidikan tidak lagi menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya manusia yang nantinya mampu untuk lebih membawa martabat serta derajat bangsa, memberikan kewibawaan bangsa yang mempunyai tradisi intelektual, yang bukan malah membanggakan tradisi korupsi. Hal yang sangat memprihatinkan sekali ketika memaknai pendidikan hanya sekedar saja, sekedar sekolah, sekedar kuliah pada akhirnya juga nantinya akan memunculkan manusia yang hanya "sekedar manusia".
Manusia yang tidak memahami akan tanggung jawab kemanusiaannya secara individu maupun sosial, secara vertikal maupun horizontal. Inilah potret wajah dunia pendidikan bangsa kita yang ternyata sangat jauh sebetulnya dari orientasi pendidikan. Banyak pengakuan orang- orang yang menganggap dirinya berpendidikan tapi sesungguhnya tidak cukup "berpendidikan". Kenapa...? sebab pendidikan tidak hanya identik dengan keberadaan kita di institusi pendidikan saja, tapi juga identik dengan bangunan moralitas, akhlak, etika, estetika dan juga logika. Pendidikan mempunyai orientasi proses pencerdasan nilai kemanusiaan yaitu nilai ntelektualitas, spritualitas juga emosionalitas.
Jadi kita berhak untuk mengklaim diri orang yang "berpendidikan" ketika kita benar- benar merasa mempunyai kualitas kecerdasan yang holistik.
Pergeseran "paradigma pendidikan" harus segera disadari oleh setiap stake holder bangsa ini, baik itu kaum elite, menengah maupun masyarakat bawah. Kesadaran terhadap betapa pentingnya proses pendidikan adalah merupakan salah satu variable didalam menyelesaikan persoalan bangsa. Sentuhan terhadap pergeseran paradigma pendidikan merupakan langkah awal dalam mengawali perubahan sistem pendidikan nasional bangsa kita. Sebab, harus diakui bahwa sistem pendidikan nasional bangsa kita belum mampu untuk memberikan muatan kecerdasan yang lebih holistik. Seperti jargon tentang pendidikan yang berbasis kompetensi, sebetulnya hal itu belum relevan dengan realitas pendidikan nasional kita. Karena belum ada kurikulum yang benar- benar punya relevansi terhadap produktifitas Sumber daya Alam, contohnya dan masih banyak lagi yang lain. Sehingga perlu setiap pihak yang merasa resah dengan problematika pendidikan untuk berperan aktif dalam melakukan kampanye terhadap keprihatinan pendidikan bangsa.
BAB III
KESIMPULAN
Paradigma, pandangan, persepsi itulah kata bermakna sama yang sering kita jumpai dalam keseharian. Setiap hari kita tentu memiliki banyak paradigma / pandangan terhadap sesuatu maupun orang dalam dunia ini. Tergambar jelas dari bagaimana sebuah respon kita berikan. Begitu banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilan mengkondisikan kehidupan duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh sederhana ketika kita mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku atasan kepada bawahan di kantor, penampilan orang lain, kebiasaan yang dilakukan orang lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang seringkali merefleksikan sikap dan perilaku kita terhadap kondisitersebut. Baik atau buruknya sebuah respon yang kita berikan bergantung bagaimana persepsi yang berada di otak kepala.
Pahamilah paradigma dan karakter adalah dua sisi yang saling mengikat satu sama lain. Apa yang kita lihat sangat berkaitan dengan siapa kita. Menjadi berarti melihat dalam dimensi kemanusiaan. Dan kita tidak bisa mengubah dapat mengubah cara pandang kita tanpa sekaligus mengubah keberadaan kita, dan sebaliknya. Paradigma kita adalah sumber dari mana sikap dan perilaku kita mengalir. Paradigma sama seperti kacamata, dia mempengaruhi cara kita melihat segala sesuatu dalam hidup kita. Bila kita melihat sesuatu melalui paradigma prinsip yang benar, apa yang kita lihat dalam hidup akan berbeda secara dramatis dengan apa yang kita lihat melalui paradigma dengan pusat yang lain.
Sementara kita mengembangkan paradigma yang memberdaya kita untuk melihat melalui lensa kepentingan ketimbang kegentingannya, kita akan meningkatkan kemampuan kita untuk mengorganisasi dan melaksanakan setiap minggu dari hidup kita di sekitar prioritas kita yang lain, untuk menjalani apa yang kita katakan. Kita tidak akan bergantung pada orang lain atau benda apa pun untuk manajemen yang efektif atas hidup kita.
Perubahan paradigma mengubah kita ke arah yang positif atau negatif, entah bersifat spontan atau bertahap, perubahan paradigma menggerakan dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain.
Dan perubahan paradigma tersebut menghasilkan perubahan yang kuat. Paradigma kita, benar atau salah, adalah sumber dari sikap dari perilaku kita, dan akhirnya sumbe dari segala hubungan kita dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pdt. E.G. Singgih, Ph.D. Kuhn dan Küng: Perubahan Paradigma Ilmu dan Dampaknya Terhadap Teologi Kristen
4. www.geocities.com/perwati2003
5. © 2005 - All Rights Reserved Paradigm Shift: A Summary By C. Bailey-Lloyd/LadyCamelot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar